Para wanita Quraisy sedang merayakan Hari Perempuan yang berlangsung setahun sekali di seputar Ka'bah. Tiba-tiba seorang laki-laki Yahudi menghampiri mereka tanpa permisi. Yahudi itu segera berseru,"Hai kaum hawa bangsa Arab, seorang Nabi terakhir akan muncul di negeri ini. Siapakah di antara kalian yang ingin menjadi permaisurinya?"
Perempuan-perempuan itu naik pitam. Tanpa berpikir panjang, mereka mencaci-maki Yahudi tersebut. Bahkan ada yang melemparinya dengan batu-batu kecil.
Seorang janda berusia sekitar empat puluh tahun, bernama Khadijah binti Khuwailid sama sekali tidak terbawa-bawa untuk ikut menista Yahudi itu. Ia sudah menjanda dua kali, jadi tidak berpikir akan ada seorang Nabi yang bakal mengambilnya sebagai istri.
Tapi ia teringat akan mimpinya semalam. Matahari turun di kota Mekah dan jatuh ke dalam rumahnya. Sianrnya memancar dari rumah Khadijah dan menerangi sekitarnya. Aneh.
Dalam pada itu, seorang bangsawan Quraisy bernama Abu Thalib sedang berunung dengan saudara perempuannya, Atikah. Mereka sedang memperbincangkan kemenaknnya bernama Muhammad yang terkenal dengan julukan Al Amien, taua yang dapat dipercaya.
"Muhammad sudah berumur dua puluh lima tahun. Apakah tidak sebaiknya kita carikan jodoh untuknya?"usul Abi Thalib.
Atikah menyangga,"Aku tidak setuju. Muhammad belum punya apa-apa. Sebaiknya Muhammad kita suruh berdagang saja, seperti umumnya pria Quraisy."
"Dagang apa?Dan modalnya?"
Atikah menjawab,"Kalau dia mau, kita suruh saja membawa dagangan Khadijah. Banyak pula orang lain yang menjualkan barang perniagaan janda kaya itu. Terserah Khadijah sajalah, mau disuruh dagang apa Muhammad, kemenakan yang berbakti itu."
Abu Thalib menyetujui saran saudara perempuannya tersebut. Abu Thalib lalu memanggil Muhammad. "Anakku, sejak hari ini ambillah untaku. Pergilah ke rumah Khadijah untuk mengambil barang-barang-nya, kau jualkan ke Syam atau kemana saja. Leuntungannya nanti serahkan sebagian kepadaku untuk kutabung bagimu.
Muhammad keberatan. Ia tidak mau menawarkan diri kepada seorang wanita, kecuali apabila Khadijah memerlukan jasanya.
"Paman,"ucap Muhammad. "Saya tidak akan mendatangi rumah Khadijah kalau bukan dia sendiri yang memanggil saya."
Abu Thalib tidak tersinggung atas jawaban seperti itu. Demikian pula Atikah. Sebab mereka tahu, Muhammad memiliki kepribadian yang tinggi dan harga diri yang besar. Ia menghormati wanita, tapi ia tidak mau menggantungkan nasibnya kepada wanita. Bukankah laki-laki ditakdirkan untuk melindungi dan menyantuni wanita? Dan tidak sebaliknya.
Oleh sebab itu, secara diam-diam Atikah mendatangi Khadijah dan merundingkan masalah itu. Dengan suka hati Khadijah bersedia menolong. Lantaran ia sangat menyukai laki-laki yang mempunyai wibawa dan harga diri. Ia setuju terhadap permintaan Atikah agar dialah yang memanggil Muhammad, dan bukan Muhammad yang memohon kepadanya.
Sudah tentu Muhammad amat bergembira mendapat panggilan dari seorang wanita perniaga yang kaya raya. dan banyak menolong rakyat kecil yang menderita. Ia lebih gembira lagi karena Khadijah mempercayakan sejumlah barang untuk diperdagangkan ke negeri Syam.
Demikianlah, dengan dilayani oleh salah seorang bujang Khadijah yang bernama Maisarah, Muhammad membawa barang dagangan itu mengikuti kafilah niaga yang akan bertolak ke negeri Syam.
Berbeda dari pedagang lainnya, Muhammad dalam meladeni pembeli sangat ramah dan jujur. Ia tidak mau mengambil keuntungan yang berlebihan. Tiap kali pembeli menanyakan harga suatu barang, Muhammad menjelaskan ,"Dari yang punya harga sekian. Saya akan menjualnya dengan harga yang lebih tinggi sedikit dari harga yang ditetapkan pemilik modal.
Cara berdagang seperti itu angat menarik minat para pembeli sehingga barang-barang jualannya laku keras. dan cepat habis.
Pada hari kepulangannya ke Mekah, Muhammad disambut gembira oleh Khadijah. Apalagi ia pun dapat mencarikan sejumlah barang yang dipesan oleh Khadijah di negeri Syam.
Ketika ditanya oleh Khadijah, Maisarah sejujurnya menceritakan." Belum pernah saya menemukan seorang pemuda yang lebih baik daripada Muhammad, di seluruh jazirah Arab dan di negeri Ajam sekalipun. Muhammad sangat tajam dan lembut. Sikapnya begitu ikhlas, tawakal, dan tak kenal menyerah. Pokoknya, yang semnacam Muhammad tidak ada duanya."
Itulah yang memikat Khadijah sampai akhirnya ia bersedia menjadi istrinya dalam usia empat puluh tahun, berselisih lima belas tahun lebih tua dibandingkan suaminya. Muhammad.
